1. Pendahuluan
Kebijakan pemekaran wilayah selama sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah (tahun 1999-2009), telah menghasilkan 205 daerah otonom baru (DOB) yang terdiri atas 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota (Kemendagri, 2010). Salah satu proses di dalam pembentukan DOB adalah proses boundary making untuk menetapkan dan penegasan batas daerah yang dibentuk, sehingga proses boundary making batas daerah di Indonesia adalah merupakan bagian dari proses besar pemekaran wilayah yang berdimensi politik, hukum, ekonomi, sosial dan teknis pemetaan (Chalid, 2005). Pembentukan DOB sebagai akibat pemekaran berarti menambah jumlah segmen batas daerah.
Kegiatan yang dilakukan pasca terbentuknya suatu DOB adalah penegasan
batas daerah. Penegasan batas daerah adalah kegiatan penentuan
titik-titik koordinat batas daerah yang dapat dilakukan dengan metode
kartometrik dan/atau survei di lapangan, yang dituangkan dalam bentuk
peta batas dengan daftar titik-titik koordinat batas daerah. Di dalam
UUPD diamanatkan bahwa paling lama 5 tahun harus sudah dilakukan
kegiatan penegasan batas daerah. Penegasan batas daerah merupakan bagian
dari tahapan proses boundary making. Dalam setiap tahapan boundary making selalu diperlukan peta (informasi geospasial) sebagai infrastruktur (Jones, 1945; Adler, 1999).
Perkembangan politik, ekonomi dan budaya masyarakat dunia maupun
budaya lokal suatu negara dalam memaknai batas, sering terjadi sengketa
antar wilayah bertetangga terkait batas wilayah (Prescott, 1987).
Demikian juga yang terjadi di Indonesia, sejak era OTDA, batas daerah
memiliki makna yang penting sebagai batas kewenangan pengelolaan bagi
setiap daerah sehingga ketidakjelasan dan ketidaksepakatan letak batas
daerah telah banyak menimbulkan sengketa batas daerah. Sampai dengan
akhir tahun 2012 tercatat ada 82 kasus sengketa batas daerah yang belum
dapat diselesaikan. Bahkan 449 segmen dari 640 segemen batas daerah yang
belum ditegaskan patut diduga terdapat potensi sengketa batas
(Kemendagri, 2012).
Dalam manajemen dan penyelesaian konflik, sangat penting untuk
terlebih dahulu dilakukan analisis untuk mencari sebab-sebab terjadinya
konflik (Furlong, 2005). Analisis untuk mencari penyebab sengketa batas
daerah di Indonesia dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori
penyebab konflik yang dikemukakan oleh Moore (1986).
Konflik adalah salah satu bentuk perilaku persaingan antar individu
atau antar kelompok orang. Potensi terjadinya konflik akan ada bila dua
atau lebih aktor bersaing secara berlebihan atau tidak adanya kesesuaian
tujuan dalam kondisi sumberdaya yang terbatas (Moore, 1986).
Menurut Moore (1986) ada lima penyebab utama terjadi nya konflik
batas dan untuk mengidentifikasi penyebab utama terjadinya konflik bisa
dilihat dari : (1) persoalan hubungan antara orang atau kelompok, (2)
persoalan dengan data, (3) tidak diperhatikannya atau tidak ada
kesesuaian nilai (value), (4) kekuatan terstruktur dari luar yang
menekan para aktor dalam sengketa, (5) persoalan kepentingan yaitu
tidak diperhatikannya atau tidak ada kesesuaian dalam hal keinginan.
Pendekatan Moore (1986) ini sering digunakan untuk alat analisis konflik
terutama dalam hal menentukan penyebab sengketa dan perilaku konflik
(Forbes, 2001 dan Furlong, 2005).
Penjelasan tiap faktor penyebab konflik dijelaskan oleh Moore (1986)
dalam Furlong (2005) dan Kristiyono (2008) sebagai berikut :
Konflik struktural
Adalah sebab-sebab konflik yang berkaitan dengan kekuasaan sehingga
ada ketidakseimbangan kekuatan misalnya dalam hal ketimpangan kontrol
sumberdaya, wewenang formal yang membuat bagaimana suatu situasi dapat
dibuat untuk tujuan tertentu melalui kebijakan umum (baik dalam bentuk
peraturan perundangan maupun kebijakan formal lainnya). Aturan main dan
norma untuk menentukan aspirasi apa yang menjadi haknya. Ketika aspirasi
dianggap tidak kompatibel dengan tujuan pihak lain maka hasilnya dapat
menimbulkan konflik.
Faktor geografis dan sejarah merupakan dua aspek penyebab konflik
struktural diantara aspek lainnya yang sering menjadi alasan klaim suatu
wilayah. Faktor geografis merupakan klaim klasik berdasarkan batas
alam, sedangkan faktor sejarah merupakan klaim berdasarkan sejarah
kepemilikan (pemilikan pertama) atau lamanya kepemilikan (Prescott,
2010).
Faktor kepentingan
Masalah kepentingan menimbulkan konflik karena adanya persaingan
kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak
bersesuaian. Konflik kepentingan ini terjadi ketika salah satu pihak
atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhan/keinginannya, pihak
lain harus berkorban. Konflik kepentingan mungkin bisa bersifat
substantif, prosedur atau psikologis.
Konflik nilai
Konflik nilai biasanya disebabkan oleh sistem kepercayaan (nilai)
yang tidak bersesuaian misalnya dalam hal definisi nilai dan mungkin
nilai-nilai keseharian.
Konflik hubungan
Konflik hubungan antar manusia terjadi karena adanya emosi negatif
yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi atau tidak ada komunikasi,
atau perilaku negatif yang berulang.
Konflik data/informasi
Konflik data/informasi terjadi ketika kekurangan atau tidak
tersedianya data dan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil
keputusan, data dan informasi yang tersedia salah, tidak sepakat
mengenai data dan informasi yang relevan, beda cara pandang dalam
menterjemahkan data dan informasi, atau beda interpretasi dan analisis
terhadap data dan informasi.
Menurut Moore, konflik data, konflik nilai dan konflik hubungan
sebenarnya konflik yang tidak perlu terjadi, artinya kalau data dan
informasi tersedia sesuai kebutuhan, nilai-nilai yang ada difahami
secara baik dan emosi serta perilaku negatif dapat dijaga, maka tidak
akan terjadi konflik. Konflik yang sebenarnya adalah konflik struktural
dan konflik kepentingan yang hampir selalu terjadi karena antara faktor
kepentingan dan faktor struktural adalah dua faktor yang saling
berhubungan dan selalu ada dalam kehidupan manusia (Furlong, 2005).
Sengketa (Dispute)
Sengketa dapat didefinisikan sebagai suatu ketidaksepahaman (disagreement)
yang spesifik. Hal tersebut biasanya disebabkan karena adanya suatu
regulasi atau kebijakan dimana klaim atau tuntutan suatu kelompok
ditolak oleh kelompok lain sehingga akan menimbulkan sengketa. Dalam hal
konflik batas daerah, ketidaksepahaman yang terjadi disebabkan karena
adanya suatu kebijakan politik dalam bentuk regulasi UUPD, sehingga
istilah konflik batas wilayah oleh para ahli konflik lebih tepat disebut
sengketa (disputes) (Forbes, 2001).
2. Metode analisis
Analisis sengketa batas daerah yang terjadi pada era otonomi daerah di Indonesia dilakukan dengan dua sasaran: (1) untuk menentukan penyebab terjadinya sengketa, (2) menentukan jenis sengketa.
Penyebab terjadinya sengketa dianalisis dengan teori lingkaran konflik
menurut Moore (1986). Kemudian dari hasil analisis penyebab konflik
selanjutnya dilakukan klasifikasi jenis sengketa. Jenis sengketa batas
daerah diklasifikasi sebagai berikut: (1) sengketa batas daerah yang
disebabkan faktor kepentingan, (2) sengketa batas daerah yang disebabkan
faktor struktural, (3) sengketa batas daerah yang disebabkan faktor
informasi geospasial, (4) sengketa batas daerah yang disebabkan faktor
hubungan, (5) sengketa batas daerah yang disebabkan faktor nilai, (6)
sengketa batas daerah yang disebabkan kombinasi minimal dua faktor
tersebut.
3. Hasil dan Pembahasan
3. 1. Kategori sengketa batas daerah
Dari kasus sengketa batas daerah yang dilaporkan Kemendagri (2013),
dapat diklasifikasi atas dasar katagori tahun pembentukan daerah otonom
dengan mengingat tahun UUPD daerah yang bersengketa, yaitu:
- Sengketa batas daerah antar DOB yang dibentuk pada era otonomi daerah ( tahun 1999 s.d. 2009)
- Sengketa batas daerah antara DOB yang dibentuk pada era OTDA (tahun 1999 s.d. 2009) dengan daerah otonom yang dibentuk sebelum tahun 1999.
- Sengketa batas daerah antara daerah otonom yang dibentuk sebelum tahun 1999 (sebelum OTDA) namun munculnya sengketa terjadi pada era OTDA.
3.2 Jenis sengketa batas daerah
Dari analisis menggunakan lingkaran
konflik Moore seperti telah diuraikan sebelumnya, dapat dikelompokan
jenis sengketa batas daerah yang terjadi selama era OTDA, yaitu:
- Konflik data/informasi, dalam hal ini data dan infromasi geospasial yaitu kualitas peta lampiran UUPD yang tidak memenuhi syarat sebagai dasar dalam penegasan batas daerah
- Kombinasi antara konflik data dan informasi geospasial dengan faktor kepentingan memperebutkan SDA dan faktor struktural terkait suatu wilayah pada DOB hasil pemekaran ingin tetap gabung dengan kabupaten induk.
4. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan:
- 28 kasus sengketa adalah antara daerah kabupaten/kota yang dibentuk pada era OTDA dengan kabupate/kota yang dibentuk pada era sebelum OTDA dan 8 kasus sengketa yang terjadi antara kabupaten/kota yang dibentuk pada era OTDA.
- Pada UUPD sebelum OTDA tidak dilampiri peta batas administrasi daerah yang dibentuk, sedang pada UUPD pada era OTDA pada umumnya dilampiri peta namun tidak memenuhi standar kartografis sebagai suatu peta hasil penetapan batas sehingga sulit digunakan sebagai dasar dalam kegiatan penegasan batas daerah.
- Pada 25 kasus (58 %) informasi geospasial berperan sebagai penyebab sengketa batas daerah yang terjadi di Indonesia pada era OTDA. Pada 11 (30 %) kasus yang lain, penyebab sengketa adalah kombinasi antara informasi geospasial dengan faktor kepentingan dan struktural. Pada kasus ini sengketa batas diawali oleh permasalahan informasi geospasial yang kemudian dipicu oleh konflik kepentingan dan struktural.
Tulisan ini judul aslinya “Informasi Geospasial dan Sengketa Batas
Daerah dalam Kegiatan Penegasan Batas Daerah pada Era Otonomi Daerah di
Indonesia” adalah bagian hasil Penelitian Sumaryo Joyosumarto dkk,
mahasiswa Program Pascasarjana S3 Teknik Geomatika Fakultas Teknik UGM
yang dipaparkan pada Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia di
Sekolah Tinggi Pertanahan Yogyakarta, 31 Oktober 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar